11 Juli 2024
Bireuen, Aceh | 1kabar.com
Kasus stunting kembali menjadi sorotan di Kabupaten Bireuen, Aceh. Seorang bayi asal Desa Padang Kasab, Kecamatan Peulimbang, dirawat di RSUD Fauziah Bireuen sejak 8 Juli 2024. Bayi yang mengalami kondisi memprihatinkan tersebut dirawat di ruang anak Jambee 3.
Murniati, ibu dari bayi yang berusia lima bulan itu, mengungkapkan bahwa berat badan anaknya turun drastis dari 6 kg pada bulan Mei menjadi 3,9 kg saat ini. Selain penurunan berat badan, bayi tersebut juga mengalami gejala gatal-gatal dan kulit yang terkelupas.
Pantauan langsung dari 1Kabar.com menunjukkan bayi tersebut dalam kondisi sangat kurus dan mendapatkan perawatan intensif dari perawat di RSUD Fauziah. Kondisi ini menegaskan pentingnya dukungan gizi yang memadai bagi tumbuh kembang anak, terutama di daerah pedesaan.
Dikonfirmasi lewat telepon, dokter spesialis anak yang merawat bayi tersebut, dr. Athailah, M. Ked., S.Pa, menjelaskan bahwa gejala dan kondisi fisik bayi tersebut mengarah pada kasus gizi buruk. Namun, kepastian kondisi medis masih menunggu hasil laboratorium.
“Kita perlu menunggu hasil lab keluar untuk mendapatkan diagnosis yang lebih akurat,” ujar dr. Athailah.
Kasus ini menjadi salah satu sorotan penting bagi Pemerintah Kabupaten Bireuen dan seluruh pihak terkait dalam upaya penanggulangan stunting dan gizi buruk yang masih menjadi masalah kronis di berbagai daerah. Keterlibatan aktif semua pihak sangat diperlukan untuk menekan angka stunting dan meningkatkan kualitas hidup anak-anak.
Menindaklanjuti kasus ini, tim 1kabar.com melakukan konfirmasi langsung dengan Kepala Dinas Kesehatan Bireuen, dr. Irwan, yang diwakili oleh Kasi Umum Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen, Fitriani, S.SiT., M.Keb. Fitriani mengungkapkan bahwa meskipun terjadi penurunan angka stunting dari tahun 2020 hingga 2023, data terbaru menunjukkan peningkatan menjadi 32,9% dari 23,4% pada tahun sebelumnya.
“Jika kita kaji kembali, kita harus melihat apakah intervensi yang dilakukan sudah sesuai. Dukungan anggaran memang ada, namun belum maksimal untuk intervensi spesifik. Anak dengan 2T (tidak naik berat badan saat ditimbang dua kali berturut-turut) juga harus diintervensi dengan kuat, jika tidak akan berlanjut ke kasus underweight dan akhirnya menuju stunting,” jelas Fitriani.
Menyangkut pasien bayi yang dirawat pada tanggal 8 Juli 2024, Fitriani menyebutkan bahwa hasil laboratorium belum keluar, namun diagnosis awal menunjukkan gizi buruk. Bayi tersebut, yang sekarang berusia 11 bulan dengan berat 4,1 kg, masuk kategori gizi buruk dengan skor di bawah minus 3 standar.
“Bayi ini pernah ditangani pada tahun 2023 dan dirawat di RS Telaga Bunda pada bulan Desember. Setelah pulang, bayi tersebut menjalani rawat jalan dan dipantau oleh puskesmas, posyandu, serta petugas kunjungan rumah. Namun, dalam bulan terakhir ini, susunya berganti-ganti karena informasi dari keluarga. Mungkin pengaruh alergi yang berat membuat bayi tidak mau makan,” tambah Fitriani.
Fitriani menegaskan bahwa penanganan gizi buruk dengan penyakit penyerta sering kali lebih sulit dan memerlukan perhatian khusus. “Gizi buruk dengan penyakit penyerta ini sulit ditangani. Jika murni karena gizi buruk, masalahnya bisa selesai. Namun, gizi buruk dengan penyakit ini sering berulang-ulang,” kata Fitriani.
Kasus ini menegaskan kembali pentingnya intervensi yang efektif dan dukungan dari berbagai pihak untuk menangani masalah stunting dan gizi buruk di Kabupaten Bireuen. Hasil laboratorium bayi tersebut diharapkan segera keluar untuk menentukan langkah penanganan selanjutnya.(Wardi)