1kabar.com
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak telah usai dilaksanakan pada tanggal 27 November 2024, hari ini sejumlah Komisi Independen Pemilihan (KIP) kabupaten Kota di Aceh sedang proses perhitungan. Walaupun hasil suara Pilkada banyak yang telah merilis berdasarkan hasil quick count di media sosial.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan sebuah kontestasi politik demokratis yang mengharuskan para calon baik bupati, Walikota maupun Gubernur bertarung memperebutkan kursi kekuasaan tertinggi di suatu daerah. Pertarungan tersebut tentu akan melahirkan pemenang dan sisi lain juga akan menghadirkan yang kalah.
Kemenangan dan kekalahan dalam proses Pilkada tentunya akan menghadirkan fenomena-fenomena menarik. Dimana kekalahan akan melahirkan dua hal yang saling bertolak belakang, menerima dan tidak menerima. Yang menerima tentunya akan dengan rendah hati menerima kekelahan begitu juga sebaliknya, pihak yang tidak menerima tentunya akan menolak hasil Pilkada.
Penolakan tersebut tentunya akan menghasilkan konflik sosial baik di kalangan elite hingga ke akar rumput. Apalagi proses yang berlanjut ditemukan sejumlah masalah seperti Money Politics, Intimidasi maupun lain sebagainya.
Sudah tentu untuk memastikan dalam sebuah kontestasi berjalan dengan jurdil maka peran KIP, Panwaslih, DKPP hingga Mahkamah Konstitusi menjadi penting. Keberhasilan pemilihan kepala daerah terletak pada upaya yang dilakukan oleh KIP dan Panwaslih satu-satunya fungsi pelaksana PIlkada dan proses peradilan pelanggaran Pilkada. Kedua lembaga tersebut diberdayakan sesuai dengan undang-undang untuk menjalankan fungsi, tugas dan kewenangan masing-masing dengan tidak mengesampingkan manajemen konflik didalam penyelesaian permasalahan yang terjadi.
Strategi manajemen konflik tentunya diambil berdasarkan skala konflik yang terjadi. Masing-masing strategi harus memperhatikan akar konflik dan pemicu konflik gara konflik dapat terselesaikan dengan baik hingga ke akar rumput permasalahan karena bila konflik sosial dibiarkan berlarut-larut akan melahirkan konflik lainnya.
Sebahagian publik memandang, sebagai efek jera, karena konflik Money Politics merupakan salah satu konflik yang tak pernah terselesaikan dan selalu menjadi sebuah konflik sosial di tengah masyarakat dalam kontestasi apapun, sebaiknya hasil sebuah kontestasi di batalkan dan dilakukan pemilihan ulang ataupun dengan cara mendiskualifikasi calon yang sudah melakukan tidak kejahatan secara terstruktur tersebut. Karena sebagai catatan, pelaku tidak akan merasa takut dan jera bila lembaga penegakkan hukum tidak berani mengambil sikap dan sebuah keputusan sehingga melahirkan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga sebagai pelaku dari sebuah kegiatan apalagi kalimat tersebut juga sudah diatur dalam undang-undang, mengapa harus takut dan risih dalam penegakkannya.
Bila tidak melahirkan sebuah keputusan dari sebuah konflik yang terjadi pasca pemilihan kepala daerah yang melibatkan banyak elemen seperti stakeholder, elite politik, massa akar rumput, dan penegak hukum hingga penyelenggara negara sudah dipastikan konflik akan terus berlanjut, karena konflik sosial pasca pemilihan adalah tanggung jawab semua pihak, untuk itu harus bersama-sama juga dalam penyelesaian konflik yang terjadi agar tidak ada yang merasa tersakiti.
Semua kontestan tidak ada yang mau dirugikan, semua kontestan tidak ada mau menjadi korban dari sebuah konsfirasi politik, karena semua paslon tentunya lahir dari orang-orang yang kompeten yang memiliki kredibiltas. Sebuah konsekuensi hukum tentu dapat diterima bila dijalankan sesuai aturan dan diatur oleh undang-undang dengan tidak mengesampingkan hak dan kewajiban yang sama.
Oleh : Chaidir Toweren