BeritaBerita TerkiniDaerahInternasionalNasionalOpiniPemerintahPeristiwaPerusahaanPolri

Dari Balik Jeruji, Suara Perlawanan Menggema: Yakarim Munir, Oligarki, dan Lumpuhnya Penegakan Hukum

423
×

Dari Balik Jeruji, Suara Perlawanan Menggema: Yakarim Munir, Oligarki, dan Lumpuhnya Penegakan Hukum

Sebarkan artikel ini

Oleh: Syahbudin Padank

Aceh Singkil, |2 Oktober 2025 Di balik tembok dingin ruang tahanan di Aceh Singkil, sebuah suara tak berhenti menggema. Bukan ratapan atau keluhan dari mereka yang dikalahkan hukum, melainkan seruan moral dari seorang pejuang yang menolak tunduk Yakarim Munir, aktivis agraria yang kini mendekam karena keberaniannya mempertahankan tanah rakyat dari dominasi korporasi sawit.

Kasus penahanan Yakarim kembali membuka tabir kelam wajah hukum Indonesia. Dalam kondisi terkurung, ia justru mengirimkan pesan paling lantang: menolak tunduk pada sistem yang dipenuhi ketimpangan dan mengutuk dominasi oligarki yang menurutnya telah merampas kedaulatan rakyat.

“Oligarki Terstruktur Telah Menjajah Bangsa Ini”Dalam pernyataan tertulisnya, Yakarim menyampaikan bahwa apa yang sedang terjadi bukan sekadar sengketa lahan antara rakyat dan perusahaan. Lebih dari itu, ia menyebut Indonesia sedang berada di bawah bentuk baru penjajahan, yang bukan berasal dari bangsa asing, melainkan dari kekuatan modal besar yang ia sebut sebagai “oligarki terstruktur”

> “Kelompok oligarki ini telah menyusup ke jantung kekuasaan — birokrasi, legislatif, yudikatif, hingga eksekutif. Mereka bukan hanya hadir, mereka menentukan arah negara,” tulis Yakarim dari dalam tahanan.

Ia menambahkan bahwa konflik agraria di Aceh Singkil hanyalah satu dari banyak contoh ketika rakyat dikalahkan oleh sistem hukum yang sudah ‘dibeli’. Dalam kasusnya, perusahaan PT Delima Makmur yang memiliki konsesi atas ribuan hektare tanah, justru melaporkan Yakarim secara pidana, meski sengketa lahan sedang dalam proses perdata.

Baca juga Artikel ini  Yamaha Alfa Scorpii-Sigli Sajikan Diskon Gebyar Promo, Taufik Hidayat Tekankan Inovasi dan Kepuasan Konsumen

Prof. Dr. Sutan Nasomal: “Negara Diam, Hukum Tunduk” Pernyataan Yakarim diamini oleh Prof. Dr. Sutan Nasomal, akademisi senior sekaligus pengamat hukum tata negara. Dalam siaran pers yang dirilis bersamaan, Prof. Sutan menegaskan bahwa saat ini hukum di Indonesia tidak lagi berpihak pada rakyat, melainkan melayani kepentingan elit.Ia menyoroti dua kasus besar yang mencerminkan kemunduran demokrasi:

1.Kekerasan terhadap wartawan seperti yang dialami Diri Ambarita (Bekasi) dan Tahan Purba (Sumatera Utara), yang hingga kini belum mendapat keadilan.
2.Kriminalisasi terhadap aktivis, dengan Yakarim Munir sebagai contoh paling nyata.

> “Negara terlihat lamban. Hukum bukan lagi instrumen keadilan, tapi alat kekuasaan. Ini bukan hanya kemunduran, ini ancaman nyata bagi demokrasi,” tegas Prof. Sutan.

Ia mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk tidak tinggal diam. Menurutnya, hanya intervensi tegas dari kepala negara yang bisa memulihkan kredibilitas lembaga penegak hukum yang saat ini dinilai “mati suri”.

Kuasa Hukum: “Penahanan Ini Ilegal dan Bermotif Politis Tim kuasa hukum Yakarim menyatakan bahwa penahanan terhadap kliennya adalah bentuk kriminalisasi terang-terangan. Gugatan pidana yang diajukan PT Delima Makmur bersandar pada pasal-pasal yang bersifat sumir, tanpa dasar kuat, dan bertentangan dengan prinsip non bis in idem—karena substansi kasus sedang dalam proses perdata.

Baca juga Artikel ini  Aktivis Mahasiswa Aceh di Sumut : Penilangan Truk Plat BL di Sumut Bisa Memicu Konflik Antar Daerah

> “Kita melihat adanya pola sistematis di mana hukum pidana digunakan untuk membungkam aktivisme. Ini bukan soal hukum, ini soal kekuasaan dan kepentingan,” ujar perwakilan tim hukum Yakarim.

Pejabat Kita Bermental Penjilat Yakarim juga tak segan menyasar para pejabat publik dalam kritiknya. Ia menyatakan bahwa banyak birokrat dan elite hari ini telah kehilangan arah pengabdian. Alih-alih menjadi pelayan rakyat, mereka menjadi pelayan modal, bahkan penjilat kekuasaan.

> “Pejabat kita hari ini banyak yang hanya berpikir aji mumpung: mumpung menjabat, mumpung bisa mengambil untung. Mereka bukan pelayan rakyat, tapi pelayan oligarki,” tulis Yakarim lantang.

Pernyataan ini mencerminkan tidak hanya kemarahan, tetapi juga kekecewaan mendalam terhadap sistem kekuasaan yang seharusnya hadir untuk membela yang lemah, tetapi kini justru berdiri di sisi yang kuat.

Revolusi HGU dan Perjuangan Generasi Di balik jeruji, Yakarim justru membicarakan masa depan. Ia menyerukan pentingnya melakukan revolusi Hak Guna Usaha (HGU), yakni meninjau ulang seluruh izin penguasaan tanah oleh perusahaan besar dan mengembalikannya kepada masyarakat adat atau petani kecil dalam bentuk hak milik atau skema kemitraan adil.

> “Kita tidak boleh mewariskan kepada generasi kita kenyataan bahwa leluhurnya menyerah, diam, dan kalah terhadap kezaliman. Perjuangan ini adalah tanggung jawab sejarah,” tegasnya.

Denyut Perlawanan Masih Berdetak
Di tengah tekanan fisik dan psikologis selama penahanan, Yakarim menegaskan bahwa semangatnya tidak akan padam. Ia menolak tunduk pada hukum yang tak berpihak dan menolak dikendalikan oleh kekuatan uang.

Baca juga Artikel ini  Penglipuran Tunjukkan Kelas Dunia: Desa Wisata Bali dengan Konsep Pariwisata Regeneratif

> “Denyut nadiku masih berdetak dari balik jeruji. Bukan dari subsidi, bukan dari pajak korporasi seperti PT Delima Makmur, tapi dari nikmat Allah yang Maha Kuasa,” tulis Yakarim.

Pesan Terakhir: “Jangan Diam, Lawan Terus!”Menutup pernyataannya, Yakarim menyampaikan seruan kepada rakyat Indonesia untuk tidak menyerah. Ia mengajak semua elemen bangsa—mahasiswa, jurnalis, petani, buruh, aktivis, dan rakyat biasa—untuk terus menyuarakan kebenaran dan keadilan, tanpa rasa takut.

> “Perjuangan ini bukan hanya tentang kami. Ini tentang masa depan hukum yang berpihak pada rakyat. Tentang martabat manusia. Tentang harapan yang tak boleh padam.”

Refleksi: Suara dari Bawah Tanah Demokrasi Kasus Yakarim Munir adalah potret kecil dari realitas besar: demokrasi Indonesia hari ini sedang terluka. Ketika hukum bisa digunakan untuk membungkam rakyat, ketika suara wartawan dibungkam dengan kekerasan, ketika perusahaan bisa memenjarakan petani—maka rakyat harus tahu: mereka hanya punya satu kekuatan yang tersisa suara dan solidaritas.

Dan jika suara itu tak bisa lagi diteriakkan dari atas panggung, maka ia akan menggema dari balik jeruji. Karena perlawanan tak pernah mati hanya berpindah tempat.

Redaksi: Tim / Syahbudin Padank
Informasi Kasus: [ kuasa hukum / organisasi pendamping Yakarim,