DaerahBeritaBerita TerkiniEkonomiNasionalOpiniPemerintahPerusahaanPolri

“Kritik Dibalas Jeruji: Saat Aktivis Dipercepat Prosesnya, Perusahaan Dibiarkan”

217
×

“Kritik Dibalas Jeruji: Saat Aktivis Dipercepat Prosesnya, Perusahaan Dibiarkan”

Sebarkan artikel ini

Aceh Singkil, |1kabar.com. 8 Oktober 2025– Penahanan terhadap Ketua LBH LMR-RI Komda Aceh Singkil/Subulussalam, Yakarim Munir, telah memantik gelombang pertanyaan dan kritik tajam dari berbagai kalangan. Tidak hanya karena statusnya sebagai aktivis pembela hak-hak masyarakat atas tanah, tetapi karena proses hukum yang dijalankan tampak pincang dan berat sebelah.

Sementara Yakarim telah ditahan dan menjalani sidang perdana atas tuduhan penipuan dan penggelapan dana lahan plasma sebesar Rp 250 juta, pihak yang dilaporkannya—yakni korporasi perkebunan PT Delima Makmur dan sejumlah pejabat terkait—belum menunjukkan perkembangan hukum yang sepadan. Publik pun bertanya, di mana letak keadilan ketika hukum hanya menyasar satu pihak?

Aktivis atau Tersangka? Dua Wajah
Yakarim Munir bukan sosok baru di dunia advokasi rakyat. Selama bertahun-tahun, ia dikenal sebagai pembela masyarakat adat, petani kecil, dan warga korban konflik agraria. Ia aktif memperjuangkan transparansi pengelolaan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan, termasuk mendorong realisasi kebun plasma yang selama ini dianggap tak kunjung ditepati.

Namun kini, justru aktivis itu sendiri yang duduk di kursi pesakitan. Ia dituduh melakukan penipuan dan penggelapan dana pembelian lahan plasma oleh PT Delima Makmur. Dugaan ini mengacu pada transaksi senilai Rp 250 juta yang menurut pihak perusahaan tidak diselesaikan sebagaimana mestinya.

Baca juga Artikel ini  Pemko Langsa Gelar Pelatihan Gratis Wujudkan Program “Langsa Juara”

Sementara itu, Yakarim melalui kuasa hukumnya membantah keras tuduhan tersebut. Ia menyatakan bahwa dana itu digunakan untuk proses pembebasan lahan dan legalitas, dengan itikad baik untuk memenuhi kewajiban perusahaan terhadap kebun plasma. Bahkan, ia telah melaporkan balik perusahaan dan sejumlah pejabat ke aparat penegak hukum atas dugaan korupsi, penyalahgunaan HGU, dan gratifikasi.
Namun laporan-laporan tersebut hingga kini tak kunjung menunjukkan proses hukum yang setara.

Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas: Potret Lama Penegakan Hukum Kasus Yakarim bukan yang pertama. Dalam sejarah konflik agraria di Indonesia dan khususnya Aceh penegakan hukum kerap menunjukkan pola lama aktifis yang bersuara kritis lebih cepat dijerat hukum, sementara korporasi besar atau pejabat yang dilaporkan justru sulit disentuh.

Penahanan terhadap Yakarim, yang dilakukan bahkan sebelum vonis dijatuhkan, dinilai berlebihan. Permohonan penangguhan penahanan yang diajukan oleh tim kuasa hukumnya ditolak oleh hakim, meskipun ada jaminan dari tokoh masyarakat. Hal ini semakin menguatkan persepsi bahwa hukum bekerja lebih cepat kepada yang lemah dan lamban terhadap yang kuat.

“Ini bukan hanya soal Yakarim, ini soal keberanian rakyat kecil yang dikriminalisasi. Ketika yang memperjuangkan tanah rakyat dibungkam dengan tuduhan hukum, itu bukan sekadar penahanan, tapi pembungkaman,” ujar M. Idris, seorang aktivis mahasiswa Aceh yang mengikuti kasus ini.

Baca juga Artikel ini  "Bupati Aceh Singkil Tegaskan Komitmen Perusahaan HGU dalam Sosialisasi Aturan Pembangunan Kebun Masyarakat"

Pertanyaan Publik yang Tak Terjawab Publik wajar bertanya:

Mengapa laporan balik Yakarim terhadap perusahaan tidak diproses dengan kecepatan yang sama?
Apakah laporan korupsi dan pelanggaran HGU yang diajukan tidak memiliki cukup bukti, ataukah sedang “ditidurkan”?
Apakah status Yakarim sebagai pengkritik kebijakan membuka ruang bagi kriminalisasi?

Sayangnya, hingga berita ini ditulis, belum ada klarifikasi resmi dari pihak kejaksaan maupun kepolisian terkait perkembangan laporan yang dibuat Yakarim terhadap perusahaan.

Preseden Berbahaya bagi Demokrasi Lokal
Apa yang terjadi di Aceh Singkil kini menjadi preseden yang membahayakan ruang demokrasi lokal. Ketika seorang tokoh masyarakat yang memperjuangkan hak publik atas tanah dituduh dan ditahan sementara laporan dugaan pelanggaran perusahaan terkesan diabaikan maka kepercayaan publik terhadap lembaga hukum perlahan runtuh.

Lebih dari sekadar kasus pidana, ini menyangkut keberanian masyarakat melawan ketimpangan, dan bagaimana negara menanggapi keberanian itu.

“Jika ini dibiarkan, maka pesan yang sampai ke masyarakat adalah: Jangan melawan korporasi, karena kalian bisa dikriminalisasi,” ujar Dr. Zulfikar Arifin, pakar hukum dari Universitas Malikussaleh.

Seruan untuk Keadilan Substantif berbagai elemen masyarakat sipil, termasuk organisasi mahasiswa, lembaga bantuan hukum, dan tokoh adat, mendesak aparat penegak hukum untuk menjalankan proses hukum secara adil, transparan, dan tidak diskriminatif.

Baca juga Artikel ini  Bupati Bireuen Hadiri Launching Museum Perjuangan Bireuen

Penegakan hukum bukan hanya soal siapa yang lebih cepat ditangkap, tetapi siapa yang benar-benar bersalah dan siapa yang dilindungi oleh sistem. Hukum bukan alat balas dendam atau perlindungan kekuasaan, tetapi cermin nilai keadilan dalam masyarakat.

Yakarim Munir mungkin kini berada di balik jeruji, tetapi suara yang dia wakili suara rakyat, petani, dan keadilan agraria tidak bisa dibungkam.

Keadilan yang Lumpuh adalah Ancaman Demokrasi Penegakan hukum yang pincang bukan hanya melukai individu, tetapi melumpuhkan harapan seluruh masyarakat. Jika aparat tidak berani menindak pihak yang memiliki kuasa ekonomi dan politik, maka hukum kehilangan arti sebagai penyeimbang.

Dalam kasus Yakarim Munir, rakyat Aceh Singkil tidak hanya menunggu vonis pengadilan, mereka menunggu apakah hukum di negeri ini masih berdiri tegak atau telah sepenuhnya berlutut kepada kekuasaan.

Pihak terkait belum memberikan pernyataan resmi hingga berita ini dipublikasikan, meskipun sorotan publik terus menguat.

Redaksi: Team/Syahbudin Padank, FRN Fast Respon counter Polri Nusantara provinsi aceh